Namun, setelah semua itu keadaan tidak juga membaik, semakin hari kasus covid-19 semakin tinggi, kurang lebih 4.000 kasus baru covid-19 dalam sehari. Tenaga Kesehatan mulai kewalahan, lebih dari 100 dokter gugur di tengah peperangan ini. Hebatnya, Juli 2020 Bank Dunia mempromosikan Indonesia sebagai negara dengan pendapatan menengah atas, walaupun nyatanya sebagian besar rakyatnya justru dalam keadaan mengkhawatirkan. PHK besar-besaran terjadi, UMKM gulung tikar, resesi ekonomi di depan mata.
Di tengah keadaan yang kacau ini, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan-kebijakan diuar keterkaitannya dengan pandemi yang menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Pilkada misalnya, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman menyatakan Pilkada Serentak 2020 tidak akan ditunda, dengan protokol kesehatan yang telah diatur. Hal ini dilakukan dengan alasan menjaga hak konstitusi rakyat, yaitu hak memilih dan dipilih. Selain itu, menunda sampai covid-19 selesai tidak mungkin dilakukan, melihat pandemi ini tidak bisa dipastikan kapan berakhir. Pemerintah juga menjadikan alasan bahwa beberapa negara telah sukses mengadakan pemilihan umum di tengah pandemi.
Melihat alasan pemerintah untuk tetap mengadakan pilkada di tengah pandemi, timbul berbagai pertanyaan di tengah masyarakat. Apa yang dikerjakan pemerintah untuk menangani pandemi covid-19 ini? Dengan mengatakan bahwa akhir dari virus ini tidak bisa diprediksi, bukankah pemerintah menyatakan bahwa mereka tidak mampu untuk menangani ini? Covid-19 memang menjadi salah satu virus berbahaya yang menyerang dunia, namun mengendalikannya juga bukan hal mustahil. Wuhan di Cina contohnya, sebagai kota tempat pertama kali ditemukan kasus covid-19, Wuhan telah berangsur pulih sejak 6 bulan lalu dan dinyatakan sehat. Penanganan oleh otoritas setempat yang cepat dan efektif dengan mengutamakan keselamatan masyarakat menjadikan Wuhan bisa pulih lebih cepat. Hal ini sudah seharusnya dijadikan contoh oleh Indonesia.
Selain itu, dengan mengatakan bahwa sejumlah negara telah mengadakan pemilihan umum di tengah pandemi sebagai rujukan untuk juga tetap melakukan pilkada di Indonesia merupakan hal yang keliru. Sejumlah negara tersebut diketahui mengadakan pemilu dengan jumlah kasus covid-19 yang terkontrol dan protokol kesehatan yang sangat ketat. Korea Selatan misalnya, Korea Selatan tetap melakukan pemilu setelah berhasil mengendalikan virus ini. Sementara Indonesia belum mampu melakukan hal tersebut. Bahkan, sejumlah pejabat Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinyatakan terjangkit covid-19. Pilkada dinilai bisa menjadi kluster baru dalam penyebaran covid-19.
Hasil jajak pendapat salah satu media massa nasional juga mengonfirmasi 67,7% warga mengkhawatirkan jika penyelenggaraan pilkada dilakukan di tengah pandemi covid-19 (beritasatu.com, 15/07/2020). Melihat hal ini, pilkada di tengah pandemi mungkin tidak akan efektif. Lalu, apakah pilkada 2020 memang harus dilakukan untuk kepentingan rakyat?
Hal kontroversial lain yang muncul di tengah kekacauan pandemi adalah RUU Cipta Kerja. RUU yang disah-kan oleh DPR pada tanggal 5 Oktober 2020 ini dikatakan untuk membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat Indonesia, apalagi di tengah pandemi. Namun sayangnya, hal ini menimbulkan kecurigaan di tengah masyarakat. Sejumlah pasal dari undang-undang ini dinilai hanya menguntungkan investor dan merugikan buruh. DPR juga dinilai terburu-buru dalam mengesahkan undang-undang ini dan menutup dialog dengan masyarakat. Melihat banyaknya penolakan, harusnya pemerintah tahu, hal ini akan menimbulkan kerusuhan di tengah masyarakat akibatnya unjuk rasa banyak dilakukan yang akan membahayakan keselamatan masyarakat. Lalu, melihat fakta ini, apakah RUU Cipta Kerja memang dibuat untuk kepentingan masyarakat atau sekedar egoisme pemerintah?
Lain pemerintah, lain masyarakatnya. Entah untuk kembali mencari nafkah atau hanya sekedar bersenang-senang sejumlah masyarakat Indonesia mulai mengabaikan protokol kesehatan yang harusnya dilakukan. Fenomena orang berkumpul untuk hal-hal yang tidak penting, banyaknya orang yang tidak menggunakan masker dan menjaga jarak kini banyak di temui di jalan-jalan di Indonesia. Sepertinya masyarakat mulai muak, toh di awal mereka sudah menjalankan hal tersebut dengan harapan pandemi covid-19 segera berakhir, nyatanya tidak. Melihat fakta ini, tidak salah jika rakyat Indonesia dikatakan egois.
Untuk keluar dari situasi sekarang ini, ada baiknya Indonesia harus bekerja sama dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakatnya. Pemerintah bekerja dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, sedangkan masyarakat mendukung dengan mematuhi hal-hal yang telah diatur. Mengesampingkan egoisme pribadi adalah hal bijak yang perlu dilakukan saat ini.
Penulis : Andi Nabila Meutia Rafika (Mahasiswa Akuntansi UIN Alauddin Makassar)