Pembatasan sosial berskala besar menyababkan macetnya aktivitas perekonomian yang mengakibatkan penerimaan pajak melambat, sedangkan kebutuhan dana penanganan covid-19 sangatlah besar. Untuk menyiasati hal ini, pemerintah memfokuskan untuk merealokasi anggaran kementrian dan lembaga. Selain itu, pemerintah juga mewajibkan seluruh kepala daerah untuk merevisi APBDnya dan memprioritaskan penggunaan anggaran untuk penanganan covid-19. Tetapi langkah tersebut ternyata tidak efektif. Oleh karena itu, pemerintah terpaksa menarik utang secara besar-besaran.
Secara khusus, pembiayaan yang bersumber dari utang kerap menjadi polemik dan cenderung dianggap buruk. Padahal, utang merupakan aset yang jika dikelola dengan baik, maka akan membuahkan manfaat. Sebagai salah satu sumber pembiayaan dalam menambal defisit akibat pandemi COVID-19, utang menjadi salah satu opsi untuk meredam dampak krisis dan membantu Pemerintah untuk keluar dari resesi. tercatat utang berasal dari pinjaman dalam negeri dan pinjaman luar negeri. Ada pula yang berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). SBN terdiri dari Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBBN). Disamping SBN, pemerintah juga melakukan pinjaman yang berbentuk valas. Menurut Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi, pada April lalu pemerintah berwacana menerbitkan surat utang dengan masa pelunasan hingga 50 tahun. Dengan cara ini, pemerintah jadi punya nafas panjang untuk mengelola utangnya.
Krisis pandemi Covid-19 membuat akumulasi utang pemerintah menjadi tidak terelakkan. Akan tetapi, nominal utang bukan satu-satunya indikator untuk mengetahui tingkat keamanan atau solvabilitas pemerintah. Untuk mengurangi beban bunga utang, maka pemerintah juga meluncurkan berbagai kebijakan komplementer terhadap pembiayaan utang seperti memperkuat kerangka fiskal. Adanya stimulus fiskal yang disertai dengan realokasi anggaran untuk kesehatan, perlindungan sosial dan pemulihan ekonomi nasional dari sektor keuangan, diharapkan akan dapat meningkatkan perekonomian secara perlahan.
Penulis : IDA ARIANI (Mahasiswa Akuntansi UINAM)