Deviasi selalu menjadikan akuntan sebagai pihak sentral, yang merupakan wujud pertemuan antara aktor dan organisasi. Kebiasaan para pelaku yang "serakah" dilegitimasi oleh standar akuntansi sebagai produk kaplitalisme. Para akuntan seolah terbenam dalam belenggu kapitalisme, sehingga teori agency berupa konflik kepentingan seakan-akan teralihkan dalam hubungan simbiosis antara manajer dan akuntan.
Akuntansi modern mengabaikan dua aspek penting yaitu lingkungan dan masyarakat, sehingga tidak dapat menggambarkan realitas bisnis yang semakin kompleks. Egoisme melekat dalam akuntansi modern, sehingga tercermin dalam bentuk biaya / keuntungan pribadi, dan berorientasi pada pelaporan keuntungan untuk kepentingan pemilik modal / pemegang saham. Akibatnya informasi akuntansi menjadi egois dan mengabaikan pihak lain.
Asas independensi tampaknya tidak sejalan dengan makna dan hakikat independensi itu sendiri. Karena dari perspektif ini, independensi di sini hanyalah implementasi independen dari mekanisme audit teknis, di mana audit adalah proses sistematis untuk mendapatkan dan mengevaluasi bukti secara objektif tentang kegiatan dan peristiwa ekonomi organisasi dan tujuannya adalah untuk menentukan kepatuhan antara pernyataan dan standar yang telah ditentukan serta memberikan hasil audit kepada pihak yang berkepentingan.
Hal ini juga dapat berdampak pada perilaku negatif akuntan sehingga mempengaruhi reputasi profesinya di mata publik. Salah satu hipotesis yang mengarah pada perilaku negatif akuntan adalah hilangnya atau berkurangnya nilai spiritual mereka. Hilangnya nilai spiritual membuat akuntan tidak mampu lagi membedakan antara perilaku baik dan buruk dengan perilaku amoral atau moral (Sulistiyo, 2004: 15).
Akuntan publik yang terkenal akan khittah independensinya saat ini telah berubah dari "judicial man" menjadi "ecinimic man" (Reiter dan Williams, 2001). Reiter (1997) bahkan percaya bahwa saling ketergantungan dalam tren akuntansi saat ini adalah untuk memandu perubahan kemandirian sesuai dengan tren saat ini, yaitu kepuasan pelanggan dan koopertaif seperti, Total Quality Management, Value Chains dan Learning Organizations. Hal ini jelas melanggar karakteristik profesi akuntan publik yang harus mengedepankan kepentingan publik.
Independensi yang telah mengalami bias makna itu sudah menjadi barang tentu untuk diluruskan dalam melihat Standar Profesi Akuntan, bahwa Akuntan publik yang sebenarnya, adalah yang dapat memberikan manfaat informasi, evaluasi dan prediksi, sesuai dengan karakter lingkungan sosialnya, memiliki nilai kemanusiaan serta nilai transendental. Dalam praktek, pasti memiliki resonansi aktualitas, disamping melakukan analisis dan penilaian secara material-matematis-statistik, juga diperlukan pemahaman terhadap seluruh permasalahan yang bukan hanya hitungan angka saja, pemaknaan dan aspek kualitatif juga harus mendapatkan tempat.
Lebih lanjut, konflik kepentingan/conflict of interest muncul dan bersinggungan, dalam bentuk interaksi akuntan, organisasi dan pihak pemakai laporan hasil audit. Semua rujukan tersebut selalu memberikan penekanan keandalan seorang akuntan publik yang memiliki kualitas tertentu dan standar tertentu dan melakukan tindakan profesinya dalam kerangka independensi.
Akuntan publik, yang sebelumnya menjadi icon paling menentukan dalam melakukan justifikasi laporan keuangan organisasi sektor publik, kenyataannya, terkalahkan oleh kuasa klien dan principal. Akuntan publik sebagai entitas yang berada di luar klien dan principal, bersifat independen dan ekspert, secara normatif, sebagai pemeriksa laporan keuangan organisasi, pada akhirnya tergerus dan beradaptasi dengan kondisi di atas. Tarikan kepentingan, membuat akuntan publik harus memilih, seberapa besar agent memiliki power lebih besar daripada principal, dan sebaliknya.
Penulis : Nurhidayah Kamaruddin (Mahasiswa UIN Alauddin Makassar, Jurusan Akuntansi)