CSR atau Sekadar Sumbangan? PT Lonsum dan Warga Beda Persepsi di Balik Dialog Terbuka
BULUKUMBA, SULSELLIMA.COM - Dialog terbuka antara warga dan PT London Sumatra (Lonsum) di Balambessie pada Senin, 7 Juli 2025, memunculkan kembali persoalan klasik yang belum juga menemui titik temu: apakah bantuan sosial yang diberikan perusahaan sudah layak disebut sebagai bagian dari Corporate Social Responsibility (CSR)?
Pertemuan yang diinisiasi menyusul unjuk rasa warga itu mempertemukan sejumlah perwakilan masyarakat, termasuk tokoh muda dari Komite Mahasiswa dan Pemuda Indonesia (KMPI), dengan jajaran manajemen PT Lonsum. Dalam suasana yang cukup hangat namun kritis, satu pertanyaan mengemuka: apakah CSR PT Lonsum sekadar donasi, atau memang program yang dirancang secara sistematis?
Pihak perusahaan melalui Kepala Humas, Rusli, menjelaskan bahwa Lonsum telah menjalankan tanggung jawab sosialnya dengan memberikan bantuan kepada masyarakat, meskipun belum dalam bentuk program yang terstruktur secara menyeluruh.
“Kami telah memberikan bantuan untuk fasilitas ibadah, dukungan sosial dan kegiatan masyarakat. Ini bentuk komitmen sosial kami meski belum ideal,” ujar Rusli.
Namun, klaim tersebut langsung dibantah oleh sejumlah warga yang hadir.
"Itu Bukan CSR, Hanya Sumbangan"
Salah satu suara paling keras datang dari aktivis KMPI, Baim Bolkam. Ia menilai bahwa yang dilakukan Lonsum belum bisa disebut sebagai CSR sebagaimana diatur dalam regulasi maupun dipahami oleh masyarakat.
“Kalau itu disebut CSR, maka definisinya harus kita luruskan,” tegas Baim. “Yang ada sekarang itu hanya sumbangan insidental. CSR itu harusnya terencana, terukur, berkelanjutan, dan transparan. Tapi yang kita terima cuma bantuan kecil tanpa perencanaan atau musyawarah.”
Menurutnya, pola bantuan yang bersifat sporadis dan tidak melibatkan partisipasi warga hanya akan memperkuat ketimpangan, bukan memperbaiki relasi antara perusahaan dan komunitas lokal.
Perdebatan tersebut mencerminkan jurang persepsi yang kian lebar antara korporasi dan komunitas penerima dampak. Di satu sisi, perusahaan merasa telah berbuat cukup. Di sisi lain, masyarakat menilai mereka sekadar “diberi”, bukan dilibatkan.
Sejumlah akademisi dan pengamat kebijakan menyebut bahwa kekaburan definisi CSR di level praktik telah menjadi persoalan kronis di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di sektor perkebunan.
“CSR bukan sekadar memberi bantuan. Ia adalah kewajiban sosial dan lingkungan yang melekat pada keberadaan perusahaan, yang harus dilaksanakan secara akuntabel dan partisipatif,” kata seorang dosen hukum dari Makassar yang turut menyoroti kasus ini.
Isu CSR di PT Lonsum mencerminkan kebutuhan akan transparansi, partisipasi, dan struktur yang lebih jelas dalam pelaksanaannya. Jika tidak, bantuan sosial akan terus diperdebatkan sebagai bentuk "kedermawanan semu", alih-alih tanggung jawab sosial yang melekat dalam kerangka keberlanjutan perusahaan.
Dialog yang terbuka seperti di Balambessie bisa menjadi awal yang baik. Namun langkah selanjutnya akan menentukan: apakah perusahaan mau mendengar dan menata ulang strategi CSR-nya, atau tetap berada dalam zona nyaman sumbangan insidental.***